Parliamentary Threshold dalam UU Pemilu

20 Bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, memperlihatkan pertarungan kepentingan-kepentingan  partai-partai politik. Bukan bagaimana membuat sistem Pemilu yang ideal dalam kompetisi politik yang bebas dan adil namun lebih mengarah pada bagaimana partai-partai itu bertahan hidup di tengah kompetisi politik dengan tantangan pemilih yang rendah. Sebagaimana yang diberitakan, rapat paripurna DPR, akhirnya menyepakati menyepakati empat poin krusial dalam UU Pemilu yaitu, Sistem Pemilu proporsional terbuka, Ambang parlemen 3,5 persen yang berlaku nasional, metode konversi suara kuota murni, dan alokasi kursi per daerah pemilihan untuk DPR 3-10 kursi, sementara untuk DPRD 3-12 kursi.

Dari perubahan-perubahan ini, hanya ada satu perubahan yang mencolok yaitu pada ambang parlemen atau  parliamentary threshold. Ketentuan ini pertama kali diterapkan dalam pemilu tahun 2009 didasarkan pada pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 bahwa parliamentary threshold ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, tidak untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota untuk penyederhanaan parpol. Dengan perubahan tersebut seharusnya diikuti dengan pengaturan kampanye, dana kampanye, dan antisipasi pelanggaran yang muncul saat pemilu.

Memang sistem pemilu suatu negara tidak bisa terlepas dari sistem ketatanegaraan, sistem hukum, sistem politik, dan sistem sosial yang ada dalam suatu negara. Sistem pemilu yang terbangun merupakan dinamika dari berbagai situasi, kondisi dan kebutuhan me

nata sistem pemerintahan kedepan. Konsekuensi dari ini semua yaitu pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan, mempengaruhi sisitem kabinet yang akan dibentuk, akuntabilitas pemerintahan, tingkat kohesi partai politik serta  bentuk dan tingkat partisipasi politik warga masyarakat.

Akibat dari rendahnya bentuk dan tingkat partisipasi warga masyarakat ini, dihargai mahal dengan  uang sebagai pengganti suara masyarakat dan memfasilitasi aspirasi masyarakat untuk kepentingan pemilu . Bisa dikatakan bahwa masyarakyat dianggap penting saat musim pemilu saja.

Yang lebih penting  dari  hasil rapat paripurna tentang UU Pemilu diharapkan bahwa aspirasi masyarakat tetap diutamakan dari berbagai kepentingan lain. Mengingat bahwa negara kita masih menganut sistem Demokrasi Pancasila, dimana kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat dan selakyaknya wakil rakyat tidak mengecewakan kepercayaan yang telah diberikan dari rakyat. Dengan saling mengingatkan hak dan kewajiban satu sama lain untuk mewujudkan cita-cita rakyat Indonesia.

Tinggalkan komentar